Berbagai opsi tengah dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghindari perompak Somalia kembali berulah, salah satunya adalah mengirimkan pasukan ke perairan Teluk Aden, zona panas perompak.
Namun, apakah semudah itu mengirimkan pasukan angkatan laut (AL) TNI untuk bergabung dengan armada tempur laut beberapa negara yang telah sebelumnya bersiaga di Teluk Aden?
Menurut analis pertahanan dari Universitas Indonesia, sekaligus Direktur Eksekutif Institute of Defence and Security Studies, Connie Rahakundini Bakrie, kepada VIVAnews, Rabu, 13 April 2011, pengiriman pasukan ke wilayah ini tidak mudah dan tidak murah.
Connie mengatakan bahwa sebelum melakukan pengiriman, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan perhitungan secara rinci mengenai seberapa sering jalur ini kita gunakan, kapal jenis apa saja dan bermuatan apa saja, lalu berapa banyak kapal dan nilai perdagangan didalamnya.
"Lalu memikirkan apakah kita akan ikut juga bergabung pada International Recommended Transit Corridor (IRTC) , Naval taskforce dari GCC Navies di masa mendatang dan juga ikut mendukung dibentuknya Maritime Security Centre di Horn of Africa," ujar Connie.
Masalah berikutnya, apakah Indonesia memiliki anggaran untuk mengirimkannya ke Teluk Aden? Karena menurut Connie, pengiriman satu saja kapal TNI AL untuk mengawal pengiriman barang di teluk ini akan memakan biaya hingga US$10 juta atau sekitar Rp86,5 miliar per tahunnya.
"Jelas anggarannya harus diadakan dan disiapkan untuk mengirimkan dan menggelar kekuatan TNI AL kita sampai kesana dan kemudian menjadi bagian dari gugus tugas yang di tahun 2009 saja sudah mencapai jumlah warships anti-piracy patrols di area Teluk Aden sebanyak 20-23 kapal dari berbagai negara," ujar Connie.
Selain itu, Indonesia juga harus rela berbagi wilayah patroli di Teluk Aden dengan puluhan negara lainnya yang tergabung dalam beberapa gugus tugas. Semua negara ini berkepentingan untuk melindungi warga negara sendiri.
"Bayangkan saja gugus tugas ini terdiri dari representasi negara-negara G20, Coalition Task Force 151 (CTF 151) yang dikoordinir dari Bahrain dibawah komando Fifth Fleet dari AL Amerika Serikat, lalu ada juga Operation ‘Atlanta’ European Union Naval Force (EUNAVFOR) selain NATO Maritime Group (SNMG 2). Ini belum termasuk patroli independen termasuk kapal-kapal milik China yaitu CTF 525 dari PLAN, Russia, India, Iran, Japan, dan Korea Selatan," jelas Connie.
Jika sudah ditetapkan akan turun, jelas Connie, maka TNI AL harus melengkapi kapal-kapal yang akan dikirimkan dengan berbagai perangkat tempur yang dibutuhkan, hal ini tentu saja akan menambah bengkak anggaran.
Namun, apakah semudah itu mengirimkan pasukan angkatan laut (AL) TNI untuk bergabung dengan armada tempur laut beberapa negara yang telah sebelumnya bersiaga di Teluk Aden?
Menurut analis pertahanan dari Universitas Indonesia, sekaligus Direktur Eksekutif Institute of Defence and Security Studies, Connie Rahakundini Bakrie, kepada VIVAnews, Rabu, 13 April 2011, pengiriman pasukan ke wilayah ini tidak mudah dan tidak murah.
Connie mengatakan bahwa sebelum melakukan pengiriman, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan perhitungan secara rinci mengenai seberapa sering jalur ini kita gunakan, kapal jenis apa saja dan bermuatan apa saja, lalu berapa banyak kapal dan nilai perdagangan didalamnya.
"Lalu memikirkan apakah kita akan ikut juga bergabung pada International Recommended Transit Corridor (IRTC) , Naval taskforce dari GCC Navies di masa mendatang dan juga ikut mendukung dibentuknya Maritime Security Centre di Horn of Africa," ujar Connie.
Masalah berikutnya, apakah Indonesia memiliki anggaran untuk mengirimkannya ke Teluk Aden? Karena menurut Connie, pengiriman satu saja kapal TNI AL untuk mengawal pengiriman barang di teluk ini akan memakan biaya hingga US$10 juta atau sekitar Rp86,5 miliar per tahunnya.
"Jelas anggarannya harus diadakan dan disiapkan untuk mengirimkan dan menggelar kekuatan TNI AL kita sampai kesana dan kemudian menjadi bagian dari gugus tugas yang di tahun 2009 saja sudah mencapai jumlah warships anti-piracy patrols di area Teluk Aden sebanyak 20-23 kapal dari berbagai negara," ujar Connie.
Selain itu, Indonesia juga harus rela berbagi wilayah patroli di Teluk Aden dengan puluhan negara lainnya yang tergabung dalam beberapa gugus tugas. Semua negara ini berkepentingan untuk melindungi warga negara sendiri.
"Bayangkan saja gugus tugas ini terdiri dari representasi negara-negara G20, Coalition Task Force 151 (CTF 151) yang dikoordinir dari Bahrain dibawah komando Fifth Fleet dari AL Amerika Serikat, lalu ada juga Operation ‘Atlanta’ European Union Naval Force (EUNAVFOR) selain NATO Maritime Group (SNMG 2). Ini belum termasuk patroli independen termasuk kapal-kapal milik China yaitu CTF 525 dari PLAN, Russia, India, Iran, Japan, dan Korea Selatan," jelas Connie.
Jika sudah ditetapkan akan turun, jelas Connie, maka TNI AL harus melengkapi kapal-kapal yang akan dikirimkan dengan berbagai perangkat tempur yang dibutuhkan, hal ini tentu saja akan menambah bengkak anggaran.
Dia mengaku pesimis pemerintah memiliki anggaran untuk menurunkan pasukannya ke Teluk Aden.
"Tetapi kembali pertanyaannnya apakah sedemikian sederhana men- deployed TNI AL kita kesana kalau operasi pengamanan Selat Malaka saja kita masih berteriak kekurangan bahan bakar. Ironis kan?" ujarnya. (eh)
• VIVAnews"Tetapi kembali pertanyaannnya apakah sedemikian sederhana men- deployed TNI AL kita kesana kalau operasi pengamanan Selat Malaka saja kita masih berteriak kekurangan bahan bakar. Ironis kan?" ujarnya. (eh)