Riuh seperti biasa. Jumat siang 1 April 2011 itu, Sushi Tei disesaki tamu. Tak ada kursi kosong. Dengan sumpit di tangan, para tamu nikmat melahap. Pramusaji sibuk di belakang conveyor, meja saji sushi yang bisa berputar.
Di dapur para chef sigap meramu. Pesanan datang beruntun. Sushi, sashimi, udon, ramen, donburi, kare, dan menu lain.
Restoran di Senayan City, Jakarta itu memang menyuguhkan menu khas Jepang, negeri yang semenjak 11 Maret lalu dirundung duka beruntun. Sesudah lindu 9 scala ricther, tsunami yang menggulung dengan ketinggian 10 meter, sejumlah reaktor nuklir di negeri itu bocor lalu meledak. Radiasi nuklir melalangbuana. Terbang bersama udara. Hinggap di sayuran.
Hanyut Bersama Air.Itu sebabnya banyak negara cemas dengan makanan Jepang. Badan pengawas makanan Singapura ketat memantau menu impor. Produk yang dicurigai dibawa ke laboratorium. Amerika Serikat, Eropa, Australia dan sejumlah negara sudah merasa ngeri. Mereka menghentikan semua impor sayur mayur dan makanan dari negeri sakura itu.
Jepang juga sudah mengingatkan dunia. Radiasi di sekitar reaktor, kata pemerintah di sana, sungguh berbahaya. Sudah merasuki susu dan hinggap di daun bayam di kejauhan 100 kilometer dari pusat reaktor. Ikan di laut jangan dijala. Sudah tercemar radiasi. Pemerintah melarang ekspor ikan dan sayur-mayur dari Sendai, tempat petaka itu berpusat.
Memilukan memang. Tahun 2010, wilayah kecil di timur negeri Jepang itu meraup Rp22 triliun dari ekspor ikan. Ekonomi pertanian wilayah timur itu bakal nyungsep. Sebab bertumpu pada ikan dan sayur mayur.
Pemerintah Jepang sekuat tenaga mengendalikan bencana ini. Selain menutup empat reaktor yang bocor,ratusan ahli memantau ketat radiasi yang menyebar. Wilayah yang sudah tercemar dikurung habis. Setiap ekspor dijaga ketat.
Percaya pada upaya pemerintah di sana, orang-orang Jakarta tetap membanjiri restoran Jepang. Tak cemas menyantap makanan favorit. “ Saya percaya pada pemerintah Jepang. Mereka memberi yang terbaik, termasuk eskpor makanan,” kata Mini, pegawai kantoran yang Jumat siang kemarin itu datang bersama sejumlah kawannya ke Sushi Tei.
Meski para pelanggan tak cemas, pengelola restoran itu tetap waspada. Bencana di Jepang, kata seorang pramusaji kepada VIVAnews, memaksa mereka memangkas daftar menu. Sajian ikan Salmon segar dicoret. Sebab makanan itu, kata sang pramusaji, “Diimpor langsung dari Jepang.” Menu lain, katanya, masih bisa didatangkan dari Norwegia.
Selain menu Salmon, kata marketing manager Sushi Tei, Cynthia F, uni atau landak laut juga dicoret. Bahan baku makanan ini juga didatangkan dari sana. Restoran ini sudah bersiaga. Menganti stok yang sudah habis, kata Cythia, “Dengan barang lokal untuk berjaga-jaga.” Dengan cara ini tamu tetap ramai.
Lantaran memangkas sejumlah menu bersiko itu, Kiyadon Sushi jadi agak sepi. Restoran ini juga menjaja di Senayan City. Jumat menjelang sore itu, Kiyadon tampak sepi. Padahal lazim ramai. Banyak kursi kosong. “Omzet jelas turun drastis karena kami menjaga mutu dengan barang-barang impor langsung dari Jepang. Penurunan omzet ini saya kira terjadi di semua restoran,” kata store manager Kiyadon Sushi, Dena Lavinia, kepada VIVAnews.com.
Salmon dan unagi lenyap di restoran ini. Itu sebabnya, “Ada banyak yang tidak dapat kami hidangkan, contohnya sashimi salmon dan salmon belly soup, “ kata Dena.
Menganti dengan produk lokal, bukan pilihan Kiyadon. Para pelanggan, kata Dena, paham betul mana produk asli dan mana yang bukan. “Bahan yang segar hanya bisa didapatkan dari Jepang,” katanya. Bahan lokal hanya ada di beberapa menu. Dengan membabat habis menu beresiko, tamu tak perlu cemas masuk restoran.
Dan para penikmat makanan Jepang di Indonesia, tampaknya memang percaya pada dua hal. Kecekatan pemerintah negeri samurai itu dan kecermatan para penjaja makanan di sini. Itu sebabnya mereka tak gemetar masuk restoran atau toko makanan Jepang.
Lihatlah yang terjadi di Cosmo, sebuah toko makanan khusus Jepang di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Jumat siang, 1 April 2011 itu, para pengunjung tetap penuh. Datang silih berganti.
Seorang pembeli bernama Sumira mengaku tak cemas menikmati makanan Jepang. Dia percaya pada pemilik toko. “Saya sudah menjadi langganan di sini sejak tahun 2000. Jadi saya percaya,” kata ibu rumah tangga berusia 53 tahun itu. Seorang pembeli lain bernama Steven beralasan bahwa hingga kini belum ada korban akibat radiasi makanan di Indonesia. Jadi, lanjutnya, “ Saya masih tenang berbelanja di sini.”
Bambang, HRD Cosmo yang ditemui VIVAnews, mengaku tidak ada penurunan omzet sesudah tragedi tsunami dan petaka radiasi di Jepang itu. Biasa saja. Seperti hari-hari sebelumnya. Pelanggan tetap meluber. Mereka adalah warga Jepang, juga orang lokal yang doyan menu dari sana.
Bambang sangat yakin dengan kecekatan pemerintah Jepang mengendalikan radiasi dan menjaga makanan. Negeri itu, katanya, hanya mengekspor makanan bebas radiasi. Apalagi, “ Stok digudang kami diimpor sebelum gempa menguncang Jepang. Jadi barang-barang kami sangat aman,” katanya.
Pengunjung yang meluber juga terlihat di Papaya Fresh Gallery. Toko yang menjajakan makanan Jepang itu beroperasi di Melawai, Jakarta Selatan. Parkiran penuh. Pelanggan hilir mudik. Memilih produk. Dan menampungnya dalam keranjang.
Meski cemas, Shanti Pratiwi, pembeli di toko itu sangat yakin dengan upaya isolasi yang dilakukan pemerintah Jepang. Juga yakin dengan para pengelola toko. “Mereka menjaga masyarakat dan konsumen,” katanya. Stok di toko ini juga aman, sebab diimpor sebelum lindu dan reaktor nuklir di sana menebar ancaman.
Tapi Humas Papaya, Aditya Chandra, mengaku cepat atau lambat mereka akan kesulitan stok. Sebab pemerintah Jepang sudah menerbitkan regulasi untuk tidak mengekspor makanan. Lebih mendahulukan kebutuhan dalam negeri. Pemasok Papaya dari Jepang juga sudah mengabarkan soal ketentuan itu. “Sudah saya konfirmasi,” kata Aditya.
Produk Jepang yang dipasarkan di toko ini umumnya makanan dan minuman ringan. Tapi untuk sementara, bahan makanan seperti sushi mengunakan bahan lokal. Beruntung, toko ini juga mengimpor bahan makanan dari Perancis dan sejumlah negara lain. Jadi tak begitu cemas sepi pembeli.
April Bakal Menurun
Meski sepanjang Maret, pasokan bahan baku dari negeri Samurai itu masih lancar, pemerintah memperkirakan bakal turun semenjak April ini. Sebab pemerintah di sana memperketat semua ekspor makanan. Juga mendahulukan kebutuhan dalam negeri.
Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, memperkirakan bahwa impor produk Jepang kemungkinan turun tajam. “Mungkin April baru terlihat turun tajam,” kata Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi, Bea Cukai Tanjung Priok, Agus Rofiudin, Rabu 30 Maret 2011. Penurunan itu, katanya,
tidak lebih dari 50 persen.Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Pujianto berjanjii bahwa soal penjualan produk Jepang, anggotanya selalu mengikuti instruksi pemerintah. “Kami menunggu pengarahan dari pemerintah,” kata Pujianto, Jumat 1 April 2011.
Radiasi nuklir di Jepang itu, katanya, tak bakal memadamkan minat konsumen. “Karena Pemerintah Jepang selalu melakukan seleksi terhadap produknya yang dikirim ke Indonesia. Kalaupun ada, tidak signifikan, karena standar kualitas mereka sudah sangat bagus”.
Dewan Penasehat Aprindo, Handaka Santosa menyarankan agar pemerintah tidak menutup keran impor makanan dan minuman dari Jepang. “Kalaupun ada, tentunya hanya produk yang disinyalir terkontaminasi radiasi saja.” Sebab tidak semua kena radiasi.
Bencana untuk produk Jepang, sebetulnya berkah bagi produk lokal. “Dengan kemungkinan berkurangnya produk dari Jepang, ini peluang bagi produk lokal menjadi pemasok sangat besar," kata Handaka. Tapi Handaka memastikan bahwa ekspor Indonesia ke Jepang juga bakal terpukul.
Jumlah penurunan ekspor itu memang cukup besar.
Lihatlah data yang dipaparkan Badan Pusat Statistik berikut ini. Volume ekspor sepanjang Maret ini turun sekitar 50 persen. Nilainya terkoreksi 25 persen dibanding Februari 2011. "Hampir semua pelabuhan tujuan ekspor barang Indonesia ke Jepang turun volumenya," kata Kepala BPS, Rusman Heriawan, usai konferensi pers di Gedung BPS, Jakarta, Jumat 1 April 2011.
Pelabuhan Sendai misalnya, terjun sebesar 44,5 persen. Nilainya juga merosot tajam. Dari US$10,2 juta pada Februari 2011 menjadi US$5,6 juta pada Maret 2011. Di pelabuhan Tokoyama, nilai ekspor menurun 35 persen. "Walaupun ada pelabuhan yang tetap beroperasi, secara psikologis Jepang memfokuskan diri pada bencana, sehingga akan membuat ekspor turun," kata Rusman.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah mengatakan, hingga saat ini belum ada informasi produk makanan olahan dikapalkan dari Jepang setelah 11 Maret 2011. “Karena setiap ada impor makanan olahan, harus mendapat surat keterangan impor dari BPOM,” katanya.
Untuk diketahui, Filipina sudah melakukan pelarangan terhadap produk coklat Jepang yang bahan bakunya berasal dari wilayah terpapar radiasi. Bagaimana dengan Indonesia? “Kita tidak, karena kami sudah melakukan antisipasi yaitu dengan menambahkan syarat bebas radiasi terhadap setiap impor produk makanan olahan dari Jepang.”
Jika perlu, lanjutnya, BPOM akan mengambil sampel secara random terhadap produk makanan olahan dari Jepang. “Tapi saya pikir, Jepang sendiri juga sudah memberlakukan kebijakan larangan ekspor bagi produk makanan yang terindikasi terkontaminasi radiasi nuklir. Dan Jepang memiliki disiplin tinggi untuk hal-hal yang sifatnya antisipasi.”
Kustantinah berpendapat, masyarakat tak perlu khawatir menanggapi isu kontaminasi nuklir Jepang ke produk makanan,. “Sebaiknya masyarakat tidak perlu khawatir. Kami pemerintah sudah melakukan langkah-langkah antisipasi. Salah satunya ya itu tadi, BPOM dengan Bea Cukai tidak berani mengeluarkan surat keterangan impor bagi produk makanan Jepang apabila tidak dilengkapi dengan sertifikat bebas radiasi.
• VIVAnews