Kecelakaan pesawat Xian MA60 yang dioperasikan oleh Merpati Nusantara Airlines Sabtu 7 Mei 2011 lalu mengundang kontroversi, mulai dari metode pengadaannya hingga kelaikan terbang pesawat ini.
Namun, dari sisis kehandalan, pakar penerbangan dari International Civil Aviation Organization Indonesia (ICAO/Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dari PBB), Capt. Rendy Sasmita Adji Wibowo, menjamin bahwa pesawat Xian MA60 sudah teruji dan memiliki teknologi yang terbilang canggih. "Jangan salah, MA60 adalah pesawat yang canggih,” kata pria berusia 56 tahun dengan pengalaman lebih dari 17 ribu jam terbang itu.
Rendy menjelaskan, bahwa MA60 merupakan pengembangan pesawat Xian Y-7 yang merupakan imitasi dari pesawat Antonov 24 buatan Rusia. “Pesawat ini sekelas dengan ATR 72 buatan Perancis,” ujar Rendy kepada VIVAnews.com, akhir pekan lalu.
Pesawat ini, kata Rendy, disokong oleh mesin Pratt-Whitney buatan Kanada, yang juga dipakai oleh Boeing. Baling-balingnya menggunakan baling-baling lengkung, yang merupakan teknologi mutakhir dari vendor spesialis baling-baling asal AS, Hartzell.
Kokpitnya pun sudah terkomputerisasi, dengan perangkat navigasi dan komunikasinya menggunakan teknologi Rockwell Collins. Oleh karenanya Rendy meminta agar masyarakat tidak buru-buru menilai buruk pesawat ini, sebelum ada hasil temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Walaupun sebelum kecelakaan ini juga telah terjadi beberapa kecelakaan yang dialami MA60, "Namun, pada kecelakaan-kecelakaan MA60 sebelumnya, sama sekali tidak ditemukan penyebabnya pada pesawat," ujar bekas pilot Garuda Indonesia, yang kini menjabat sebagai Senior Flight Operation Inspector di ICAO itu.
Rendy menganalisa, ada kemungkinan bahwa kecelakaan terjadi akibat spatial disorientation atau kesalahan pilot dan co-pilot dalam memahami kondisi horizon. Sebab, sebelum mereka mendarat kondisi cuaca saat itu memang hujan lebat. "Pada kondisi seperti ini, warna langit gelap dan sulit dibedakan dengan warna laut."
Walaupun MA60 dilengkapi dengan instrumen landing system atau ILS (perangkat pendaratan otomatis yang terkomputerisasi), namun menara di bandara Kaimana Papua tidak menunjang perangkat itu, sehingga pendaratan tetap musti dilakukan secara visual, dengan panduan dari menara melalui komunikasi radio AM.
Dalam kondisi hujan, biasanya pesawat akan menunda pendaratan, hingga hujan mereda. "Oleh karenanya, pesawat sempat berputar dua kali," Rendy menerangkan.
Nah kemudian pesawat hendak mendarat, namun setelah itu hilang kontak dan terjadilah kecelakaan.
Rendy curiga, saat berputar dan bersiap mendarat secara visual, baik pilot maupun co-pilot tengah sibuk mencari-cari landasan, tanpa memperhatikan instrumen di kokpit. "MA60 itu pesawatnya enak, sehingga bisa membuat orang terlena," kata Rendy.
Seharusnya, antara pilot dan co-pilot melakukan koordinasi dan saling melengkapi, "Bila pilot mencari landasan, co-pilot harus memantau ketinggian, kecepatan, sudut belok, dan lain-lain, dari instrumen pemantau di kokpit. Begitu juga sebaliknya," kata Rendy.
Bila tak ada yang memantau instrumen di dalam, maka akibatnya bisa fatal.Padahal bila sudut belok pesawat lebih dari 30 derajat, Rendy menjelaskan, maka hidung pesawat akan menukik. Dengan memperkirakan sudut datang sebelum mendarat yang rata-rata sekitar 3 derajat, serta ketinggian pesawat pada 500 meter dari jarak landasan, yang diperkirakan 50 meter di atas permukaan laut, disorientasi selama 10 detik saja, akan sangat fatal, kata Rendy.
"Kecelakaan ini sepertinya mirip dengan apa yang terjadi pada pesawat Fokker F-28 MK3000 milik Merpati yang jatuh di bandara Jefman Sorong pada 1 Juli 1993," kata Rendy.
Pada saat itu, kecelakaan pesawat yang memakan 40-an korban jiwa itu juga diakibatkan oleh spatial disorientation. Rendy mengingatkan, dari sebuah kecelakaan pesawat, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa pesawat tersebut tidak laik terbang. Ini tak beda dengan alat transportasi lain seperti bus Trans Jakarta. "Walaupun busway nubruk orang, nabrak motor, nyerempet mobil, bukan berarti busway tak layak lagi jadi alat transportasi umum," kata Rendy.
• VIVAnews
Namun, dari sisis kehandalan, pakar penerbangan dari International Civil Aviation Organization Indonesia (ICAO/Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dari PBB), Capt. Rendy Sasmita Adji Wibowo, menjamin bahwa pesawat Xian MA60 sudah teruji dan memiliki teknologi yang terbilang canggih. "Jangan salah, MA60 adalah pesawat yang canggih,” kata pria berusia 56 tahun dengan pengalaman lebih dari 17 ribu jam terbang itu.
Rendy menjelaskan, bahwa MA60 merupakan pengembangan pesawat Xian Y-7 yang merupakan imitasi dari pesawat Antonov 24 buatan Rusia. “Pesawat ini sekelas dengan ATR 72 buatan Perancis,” ujar Rendy kepada VIVAnews.com, akhir pekan lalu.
Pesawat ini, kata Rendy, disokong oleh mesin Pratt-Whitney buatan Kanada, yang juga dipakai oleh Boeing. Baling-balingnya menggunakan baling-baling lengkung, yang merupakan teknologi mutakhir dari vendor spesialis baling-baling asal AS, Hartzell.
Kokpitnya pun sudah terkomputerisasi, dengan perangkat navigasi dan komunikasinya menggunakan teknologi Rockwell Collins. Oleh karenanya Rendy meminta agar masyarakat tidak buru-buru menilai buruk pesawat ini, sebelum ada hasil temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Walaupun sebelum kecelakaan ini juga telah terjadi beberapa kecelakaan yang dialami MA60, "Namun, pada kecelakaan-kecelakaan MA60 sebelumnya, sama sekali tidak ditemukan penyebabnya pada pesawat," ujar bekas pilot Garuda Indonesia, yang kini menjabat sebagai Senior Flight Operation Inspector di ICAO itu.
Rendy menganalisa, ada kemungkinan bahwa kecelakaan terjadi akibat spatial disorientation atau kesalahan pilot dan co-pilot dalam memahami kondisi horizon. Sebab, sebelum mereka mendarat kondisi cuaca saat itu memang hujan lebat. "Pada kondisi seperti ini, warna langit gelap dan sulit dibedakan dengan warna laut."
Walaupun MA60 dilengkapi dengan instrumen landing system atau ILS (perangkat pendaratan otomatis yang terkomputerisasi), namun menara di bandara Kaimana Papua tidak menunjang perangkat itu, sehingga pendaratan tetap musti dilakukan secara visual, dengan panduan dari menara melalui komunikasi radio AM.
Dalam kondisi hujan, biasanya pesawat akan menunda pendaratan, hingga hujan mereda. "Oleh karenanya, pesawat sempat berputar dua kali," Rendy menerangkan.
Nah kemudian pesawat hendak mendarat, namun setelah itu hilang kontak dan terjadilah kecelakaan.
Rendy curiga, saat berputar dan bersiap mendarat secara visual, baik pilot maupun co-pilot tengah sibuk mencari-cari landasan, tanpa memperhatikan instrumen di kokpit. "MA60 itu pesawatnya enak, sehingga bisa membuat orang terlena," kata Rendy.
Seharusnya, antara pilot dan co-pilot melakukan koordinasi dan saling melengkapi, "Bila pilot mencari landasan, co-pilot harus memantau ketinggian, kecepatan, sudut belok, dan lain-lain, dari instrumen pemantau di kokpit. Begitu juga sebaliknya," kata Rendy.
Bila tak ada yang memantau instrumen di dalam, maka akibatnya bisa fatal.Padahal bila sudut belok pesawat lebih dari 30 derajat, Rendy menjelaskan, maka hidung pesawat akan menukik. Dengan memperkirakan sudut datang sebelum mendarat yang rata-rata sekitar 3 derajat, serta ketinggian pesawat pada 500 meter dari jarak landasan, yang diperkirakan 50 meter di atas permukaan laut, disorientasi selama 10 detik saja, akan sangat fatal, kata Rendy.
"Kecelakaan ini sepertinya mirip dengan apa yang terjadi pada pesawat Fokker F-28 MK3000 milik Merpati yang jatuh di bandara Jefman Sorong pada 1 Juli 1993," kata Rendy.
Pada saat itu, kecelakaan pesawat yang memakan 40-an korban jiwa itu juga diakibatkan oleh spatial disorientation. Rendy mengingatkan, dari sebuah kecelakaan pesawat, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa pesawat tersebut tidak laik terbang. Ini tak beda dengan alat transportasi lain seperti bus Trans Jakarta. "Walaupun busway nubruk orang, nabrak motor, nyerempet mobil, bukan berarti busway tak layak lagi jadi alat transportasi umum," kata Rendy.
• VIVAnews